Mana yang penting kalau kita memberikan persembahan kepada Tuhan? Jumlahnya atau mutunya? Mari kita perhatikan bagaimana Yesus menjawab pertanyaan itu. Yesus baru saja terlibat dalam perdebatan yang panjang dan menegangkan dengan orang-orang Saduki mengenai bermacam-macam hal: mengenai Kuasa Yesus, kemesiasan Yesus, pajak, kebangkitan orang mati, dll. Bisa dilihat dalam Lukas 20. Setelah itu, Yesus melihat orang-orang masuk keluar Bait Allah sambil memasukkan persembahan ke salah satu dari kotak persembahan yang ada di dekat pintu masuk.
Lukas 21:1 mengatakan, Ia melihat orang-orang kaya memasukan persembahan mereka. Ia tahu bahwa mereka orang kaya, mungkin dari pakaian mereka, mungkin dari lagak (gaya) mereka, mungkin dari jumlah persembahan mereka. Kemudian ayat-ayat mengatkan begini: Ia melihat juga seorang janda miskin memasukan dua’ peser ke dalam peti itu. Dua peser, dalam bahasa aslinya, dua lepta. Lepta adalah mata uang paling kecil. Arti kata lepta adalah ”tipis” – uang logam yang paling tipis, karena yang satu lepta itu sudah tidak dapat dipakai untuk membeli apa-apa lagi, maka pemerintah Romawi mengeluarkan uang baru yang pecahan terkecilnya adalah 1 sen. Nilai satu lepta adalah 1/40 sen. Jadi dua lepta adalah 1/20 sen. Lalu Yesus berkata ”........... Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari semua orang itu” (ay.3). Apa yang paling penting atau lebih penting dari persembahan kita? Jumlahnya atau mutunya? Dalam ayat ini, Yesus mau mengatakan bukan jumlahnya yang penting! Dua lepta atau 1/20 sen yang dipersembahkan oleh janda miskin itu sudah hebat!
Jangan sampai ada diantara kita yang merasa malu hanya karena tidak dapat memberi persembahan banyak-banyak untuk Tuhan. Atau tidak datang ke kebaktian oleh karena tidak ada uang atau kolekte! Persembahkanlah hatimu! Bnd. Roma 12:1). Itu yang paling utama. Kehadiran anda dalam ibadah sudah merupakan persembahan yang indah dihadapan Tuhan. Sekarang, apakah jumlah itu tidak penting? Banyak orang berpendapat begitu. Sebelum kolekte, petugas membacakan 2 Korintus 9:7, ”Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi irang yang memberi dengan sukacita”. Lalu orang berkata begini : ”Kalau saya relanya hanya memberi Rp. 100, ya Rp.100 saja, sekalipun sebenarnya saya punya kesanggupan untuk bisa memberi Rp. 10.000,-. Benarkah sikap ini? Salah! Kerelaan penting. Tetapi perhatikan apa yang dikatakan dalam 2 Kor. 8:12 ; ”Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu.” Rela memberi berdasarkan apa yang tidak ada pada kita! Apa artinya? Kalau memang tidak ada, ya tidak perlu harus berutang dulu untuk kolekte baru boleh datang ke kebaktian. Tidak! Kalau biasanya hanya Rp. 100, ya beri Rp. 100. Tetapi kalau bisa memberi Rp. 10.000, ya beri Rp. 10.000. Jangan beri Rp. 5.000, atau Rp. 6000. Beri dengan rela, tanpa sedih hati atau paksaan, berdasarkan apa yang ada padamu, tidak perlu lebih dari itu, tapi juga jangan kurang dari itu. Ini susah! Sebuah survei yang dilakukan di AS beberapa tahun lalu, membuktikan bahwa semakin tinggi pendapatan orang, justru semakin kecil presentase pemberiannya. Yang penghasilannya kurang dari 6 juta setahun, memberikan 60% dari pendapatannya untuk amal. Tetapi mereka, yang penghasilannya 40 juta setahun, ternyata hanya memberikan 1,9% dari penghasilannya itu. Untuk itu ada satu pertanyaan yang perlu renungkan : apakah yang kita berikan itu sudah sepadan dengan kemampuan kita? Pertanyaan itu penting, dan itulah yang Yesus maksudkan ketika Ia mengatakan ”sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya.” Jumlah tidak penting, tetapi juga penting. Sebab apa? Sebab, walaupun tidak ada persembahan yang terlalu kecil dihadapan Tuhan, juga tidak ada persembahan yang terlalu besar dihadapan Tuhan. Tidak ada istilah, ”Wah, ini sih sudah kebanyakan!” Persembahan itu kita berikan bukan oleh karena Tuhan kekurangan, melainkan sebagai ungkapan syukur kita kepada Tuhan yang telah lebih dahulu memberikan segala sesuatu kepada kita, terutama hidupNya bagi kita.
Kita mesti membayar rekening listrik, telepon, PAM iuran TV. Kalau kita punya rumah atau tanah, kita harus membayar PBB. Semua ada tarifnya, dan anda membayar setiap bulan. Tuhan memberi hidup kepada kita. Kalau Tuhan buka rekening, berapa yang semestinya kita bayar kepadaNya? Tapi Tuhan tidak minta uang sewa untuk hidup kita. Berapa sebenarnya persembahan kita? Tidak ada soal jumlah disini. Sekali lagi tidak. Tapi toch ada patokannya? Apa itu? Yesus memuji persembahan si janda miskin, bukan karena persembahannya. Artinya, 2 lepta yang kecil dan sedikit itu, bagi si janda miskin itu sudah merupakan jumlah yang amat besar. Kalau perinsip ini kita terapkan, sebenarnya persepuluhan pun belum cukup. Robert A. Lanilow, seorang pengusaha besar dari Selandia Baru yang amat terkenal dinegaranya, menulis perinsip pemberiannya itu dalam sebuah buku yang telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa dan di cetak lebih dari 16 juta ekslemplar. Ia telah memberi persepuluhan sejak ia mulai bekerja pada umur 18 tahun dan gajinya masih 3 dollar seminggu. Ketika ia berumur 25 tahun, ia mendapatkan penghasilan sedemikian bersarnya, sehingga ia memberikan penghasilan 50% dari penghasilannya. Luar-biasa bukan? Namun demikian, ia toh mengatakan dalam bukunya: ”memberikan 50% kelihatannya sudah luar biasa besarnya. Dan amat berat. Tetapi sebenarnya tidak seberapa. Oleh karena selama ini Tuhan memberikan kepada saya ratusan persen lebih banyak.”
Jadi persembahan : kuantitas atau kualitas? Kualitas hati kita yang paling penting! Tetapi kualitas juga akan menentukan kuantitas. Semakin hati kita bersyukur, semakin besar pula kerinduan kita untuk memberikan lebih banyak bagi Tuhan.
Good material. Sebaiknya disertai juga dengan mencantumkan sumber dari mana materi ini di ambil / di kutip (judul buku dan penulisnya).
BalasHapus