Laman

Selasa, 10 Januari 2012

MEREFORMASI SESUAI DENGAN KEHENDAK TUHAN - Raja-raja 23:21-30

Reformasi, sebuah kata yang tidak asing lagi diera sekarang ini. Kata ini pun cenderung melekat dengan tindakan demonstrasi, yang sangat disayangkan kadang tindakan-tindakan ini berbau anarkis, pengrusakan dan kriminalitas. Para reformator ditunggangi oleh niat untuk memprovokasi dan memecahbelah, serta menggunakan situasi tersebut untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok. Sasaran yang tepat dalam rangka mereformasi, berubah makna.
Raja Yosia, seorang reformator yang memiliki ciri khas yang perlu diteladani. Bahkan upaya –upaya mereformasi kehidupan bangsanya dilakukan dengan penuh semangat dan nilai juang yang tinggi. Kepribadian Raja Yosia yang seperti itu tercermin dari hidupnya yang takut akan Tuhan, dan melakukan apa yang benar (2Raja 22:2). Perinsip hidup yang takut akan Tuhan mewarnai upaya dan tindakan-tindakan nyata dari Raja Yosia untuk mereformasi kehidupan keagamaan bangsanya. Baginya ketidaksejahteraan dan ketidaktentraman bangsanya, masalah politik dan kenegaraan ada dampak dari semrawutnya spiritualitas bangsa itu sendiri. Hal lain yang harus diperhatikan juga adalah keterlibatan Yosia sebagai pemimpin. Dia bertindak sebagai pemberi semangat, motivator bagi semua lapisan masyarakat dan berperan aktif dalam mengusahakan agar taurat Tuhan sungguh-sungguh ditaati. Khususnya dalam perayaan Paskah, yang dipandangnya sebagai puncak reformasi dalam pembaruan yang dilakukan Raja Yosia. Sejak zaman Samuel, tidak ada raja yang pernah merayakan Paskah sebagaimana yang dilakukan raja Yosia (ay 22, Bnd. 2 Taw 35:18b). Kata-kata ini bukannya ingin merendahkan apa yang dilakukan oleh raja-raja “reformator” lainnya (mis. Hiskia pada masa sebelumnya, dll) tapi menunjukan bahwa catatan tentang Paskah ini patut menjadi teladan bagi pelayanan dan kesaksian gereja sekarang ini dan dimasa mendatang. Teladan ini nyata dari adanya penekanan penulis bahwa perayaan Paskah Yosia ini, dilaksanakan sebagaimana tertulis dalam kitab Musa, kitab perjanjian  yang baru ditemukan itu. Dibandingkan kitab ini, penulis Tawarikh lebih menjelaskan secara terperinci tentang pelaksanaan Paskah ini, antara lain: Tanggal Perayaan Paskah (tgl 14 bulan pertama) sesuai dengan Taurat Tuhan (lih. Kel 12). Demikian pula pembagian barisan dan tugas para imam, orang Lewi dan jemaat pada saat berkumpul di Bait Allah. Juga proses penyembelihan hewan-hewan kurban dilakukan dengan mengikuti Taurat Musa. Tidak hanya jumlah yang ditekankan penulis, tapi juga sifat pemberian kurban itu yang diberi secara sukarela atau sumbangan (lih. 2 Taw 35:1-19).  Semua hal ini menjadi teladan bagi perayaan Paskah yang mengingat pembebasan Allag bagi Israel dari perbudakan di Mesir.
Saudara, bentuk perayaan keagamaan disebagian gereja masa kini, justru telah mengalami pergeseran. Seringkali perayaan-perayaan tertentu seperti Paskah dan Natal diisi dengan berbagai kegiatan yang lebih bersifat fun dan menghibur. Bentuk acara tidak harus punya hubungan langsung dengan apa yang dirayakan itu sendiri, yang penting ada waktu disisakan untuk ibadah dan perayaan Paskah, misalnya. Ini menyedihkan karena dalam perayaan Paskah (atau yang lainnya) makna Paskah itu sendiri tidak lagi menjadi pusat perayaan dan pusat perhatian jemaat. Hal ini bukan cuma sekedar menjadi sebuah keprihatinan dan perenungan gereja masa kini, tetapi kita perlu menata ulang, membaharui pemaknaan Paskah yang berkenan dan sesuai dengan FirmanNya.
Saudara yang kekasih, tindakan reformasi yang dilakukan Yosia berkelanjutan, sebagai wujud ketaatan pada Taurat Tuhan. Antara lain dihapuskannya berbagai bentuk berhala, kekuatan-kekuatan sihir, (ay 24) ditengah-tengah bangsanya. Sebelumnya memang Yosia telah menghancurkan bukit-bukit pengorbanan dan berbagai bentuk penyembahan berhala. Dengan ditemukannya kitab Taurat oleh Hizkia (621 sb.M), memacu semangat Yosia untuk melancarkan reformasi itu. Dia bukan hanya mengumpulkan uang dalam rangka pemugaran bait Allah (2 Raja 22 :3-7), yang memang sudah dilakukannya beberapa tahun sebelumnya, tapi niatnya agar bangsanya kembali beribadah dan mencari Tuhan. Raja Yosia bukan hanya memusnahkan semua bukit pengorbanan di Yehuda dan Benyamin, semangat reformasinya mendorong dia juga menjelajahi Efraim, Benyamin bahkan sampai ke Utara, ke Naftali di Galilea. Dimana saja dimusnahkannya setiap peranti dan sarana ibadah kafir. Kesadaran dan pertobatan diri Yosia, membuatnya bangkit dari keterpurukan spiritual yang dialami bangsanya. Dia mengakui bahwa jika tanpa pertobatan, apalagi setelah mendengar isi Taurat Tuhan yang baru ditemukan itu, maka penghukuman dari Tuhan akan terjadi, saat itu juga. Tapi, kendati Reformasi itu sangat seksama, hampir seluruhnya lahririah saja, dan tak pernah mendampakkan pembaharuan yang sungguh-sungguh dalam  hati umat Yehuda. Ini jelas, baik dari nubuat-nubuat Yeremia yang diucapkan pada masa ini (Yes 2-6), maupun dari cepatnya umat itu berbalik ke penyembahan berhala sesudah Yosia mati. Kalaupun nubuat penghukuman atas Yehuda tetap disuarakan, hal ini menunjukan bahwa Allah hanya menunda penghukumannya itu, dan tidak terjadi pada masa Yosia, tapi sesudah pemerintahannya berakhir. Bahwa Allah adalah Tuhan yang menyatakan keadilan dengan tetap memberi penghukuman sebagai konsekwensi dosa-dosa umatNya. Kematian Yosia di Megido (609 sb.M) begitu memilukan dan sia-sia. Sebab Yosia melakukan tindakan “tanpa perhitungan” dengan menganggap kegiatan Nekho yang memberi bantuan kepada Asyur, dengan melintasi Palestina, sebagaimana ancaman untuk kerajaannya. Ini dipandang sebagai tindakan “tolol” yang dilakukan oleh Yosia diakhir hidupnya. Yang membawa dia mati terbunuh. (Bnd. 2 Taw 35:20-24).
Saudara yang dikasihi Yesus Kristus, kita tertantang untuk berani mereformasi diri dan lingkungan sekitar. Keterpurukan, kemelaratan dan isak tangis, menjadi bahan perenungan tentang apa yang sedang terjadi. Termasuk didalamnya keprihatinan kita terhadap masalah Global Warning atau Pemanasan Global, yang mengancam kelestarian lingkungan hidup. Pesatnya pertambahan jumlah penduduk, maraknya kegiatan perekonomian dan kegiatan industrialisasi, yang tidak dibarengi dengan kepedulian akan kelestarian lingkungan hidup memicu berkembangnya masalah lingkungan. Dampaknya mulai terlihat seperti berupa anomali perubahan iklim yang mengakibatkan terjadinya berbagai bencana.
Tindakan membaharui, mereformasi, bukan nanti, manakala Tuhan mengukum lewat alam ciptaanNya. Mari berupayalah, dengan terus bergandengan tangan diantara kita, keluarga, Gereja, Pemerintah, menata hidup yang sesuai dengan kehendaknya.
Doa :    Ya Tuhan, baik kemampuan kepada gerejaMu untuk membaharui diri dan lingkungan sekitar, sesuai kehendakMu. Amin 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar